JAKARTA, HUMAS MKRI – Imam Syafi’i selaku Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan Ahmad Daryoko selaku Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia (Pemohon II) mengajukan uji materiil Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana untuk memeriksa permohonan perkara dengan Nomor 127/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Rabu (11/10/2023) di Ruang Sidang Panel MK.
Melalui kuasa hukum Denny Ardiansyah, para Pemohon menilai Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI yang menyatakan, “Pekerja migran Indonesia meliputi: … c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan,” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Imam Syafi’i (Pemohon I) menilai akibat keberlakuan norma tersebut berdampak pada tumbang tindih regulasi dari beberapa tingkatan undang-undang, di antaranya UU 17/2008 tentang Pelayaran, PP 31/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, dan PP 22/2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Dengan beralihnya kewenangan kementerian yang menyelenggarakan urusan pelayaran dari Kementerian Perhubungan ke Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sehingga jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan.
Sementara bagi Ahmad Daryoko (Pemohon II) yang merupakan perusahaan yang bergerak dalam aktivitas keagenan awak kapal dirugikan pula atas ketentuan norma tersebut. Pemohon II wajib memiliki surat izin perekrutan pekerja migran Indonesia yang diterbitkan oleh Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran sebagaimana ditentukan Pasal 72 huruf c UU PPMI. Akibat ketentuan ini, Pemohon II dikriminalisasi dengan telah ditetapkannya sebagai tersangka dan saat ini dalam proses penahanan pada rumah tahanan negara oleh Penyidik Ditreskrimum Kepolisian Daerah Jawa Tengah dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang. Selian itu, norma tersebut juga berpotensi merugikan Pemohon II dalam menjalankan usaha keagenan awak kapal. Sebelumnya Pemohon II bekerja sama dengan agen awak kapal asing, baik dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik atau pun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
“Jadi, kerugian Pemohon I akibat norma ini terkait dengan kebutuhan perlindungan dan hak-hak yang berbeda antara pekerja migran yang menetap di suatu negara tertentu dengan pelaut yang merupakan pekerja yang tidak menetap di suatu negara. Sedangkan bagi Pemohon II, terkait dengan keberlangsungan usaha dan kriminalisasi atas persyaratan administrasi yang tumpang tindih,” sampai Denny Ardiansyah di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI sebagaimana telah diubah dengan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28| ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pertentangan Norma
Terhadap permohonan para Pemohon ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihatnya mengatakan pentingnya para Pemohon mempertegas pertentangan norma yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang terdapat pada UUD 1945, dan bukan dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sebab kewenangan MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan permohonan harus dibuat secara tepat, mulai dari objek, kewenangan Mahkamah dengan dasar hukumnya, alasan permohonan, dan petitum. “Dalam alasan permohonan terdapat uraian tentang pertentangan pasal yang diujikan dengan pasal dalam UUD 1945, koheren atau tidak dengan apa yang diinginkan serta hal yang ada pada norma tersebut,” sampai Arief.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menekankan perlunya kejelasan dari kedudukan hukum Pemohon yang mewakili badan hukum yang diwakilinya. Sehingga terdapat kerugian konstitusional yang dialaminya, bukan hanya kerugian ekonomi yang dialami saja dari suatu kasus konkret.
Pada penghujung persidangan, Hakim Konstitusi Manahan menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Selasa, 24 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.